Kh Hasyim Asy Ari dan Nahdatul Ulama
KH HASYIM ASY ARI DAN NU
Www.nu.or.id |
BAB I
PENDAHULUAN
Nahdlatul Ulama (NU) lahir pada tahun 1926, satu tahun setelah datangnya Ahmadiyah di Indonesia. Organisasi Islam dengan idealis pluralisme di Indonesia ini mengalami perkembangan sampai sekarang. NU merupakan salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Pada 31 Januari 1926, sebuah kelompok yang terdiri dari lima belas kiai terkemuka berkumpul di rumah Wahab Chasbullah (1888-1971) di kertopaten, Surabaya. Sebagian besar mereka datag dari Jawa Timur dan masing-masing adalah tokoh pesantren. Jarang terjadi, kiai senior berkumpul dalam jumlah sebanyak itu, namun dalam kesempatan ini mereka memikirkan langkah bersama untuk mempertahankan kepentingan mereka dan bentuk Islam tradisional yang mereka praktikkan. Setelah melalui diskusi, mereka memutuskan mendirikan NU untuk mewakili dan memperkokoh Islam tradisional di Hindia-Belanda. Keputusan itu merupakan langkah bersejarah.
Sebelumnya, tokoh-tokoh tradisional telah membentuk berbagai organisasi kecil dan bersifat lokal yang bergerak di bidang pendidikan, ekonomi, atau keagamaan, namun baru setelah NU didirikan sebagian besar kiai mau melibatkan diri mereka dalam sebuah organisasi berskala nasional dengan program kegiatan yang luas. NU berkembang cepat pada awal 1940-an dan mengaku sebagai organisasi Islam terbesar di Hindia-Belanda. Belum pernah terjadi di mana pun dalam dunia Islam, sebuah organisasi yang dipimpin oleh para ulama berhasil menarik massa pengikut sedemikian banyak. Setiap kajian tentang islam tradisional di kepulauan Indonesia, terutama di Jawa, harus mempertimbangkan peran pesantren dan para kiai yang memimpinnya.
Secara doktrinal, para kiai menganggap dirinya Sunni ortodoks meskipun banyak unsurunsur dalam praktik keagamaannya yang berasal dari sumber-sumber non-Islam. Sebutan yang mereka sukai adalah Ahlusunnah wal Jama’ah, yaitu pengikut sunnah nabi dan para sahabatnya. Ortodoksi diartikan patuh, tidak hanya pada tradisi yang ditentukan dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi, tetapi juga pada prinsip dan rumusan yang disusun oleh para ulama besar zaman klasik. Dalam hal teologi dogmatis, mereka mengikuti al-Asy’ari (873-935) dan, pada urutan berikutnya, al-Maturidi (w. 944), yang ajaran-ajarannya menjadi sendi utama teologi Sunni standar. Dalam hal fiqh, mereka mengacu kepada madzhab Syafi’i, salah satu dari empat madzhab Sunni. Yang terakhir dibidang sufisme mereka merujuk pada pandangan Junaid al-Baghdadi (w. 911) dan terutama al-Ghazali (1058-1111).
BAB II
ISI
Kh Hasyim Asy’ari, Sang Ulama Pemikir Dan Pejuang
Tokoh ulama pemikir dan pejuang, yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, KH Hasyim Asy’ari, tercatat lahir pada 4 Robiula wwal 1292 H /10 April 1875, di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Beliau merupakan putra pasangan Kyai Asy’ari dan Nyai Halimah. Kyai Asy’ari putera Kyai Usman yang pindah ke Keras mendirikan dan mengasuh Pesantren Keras yang terletak di selatan Jombang. KH Hasyim Asy’ari sendiri merupakan anak ketiga dari 11 orang bersaudara. Dari garis keturunan ibu maupun ayahnya, KH Hasyim Asy’ari memiliki garis genealogi dari Sultan Pajang yang terhubung dengan Maharaja Majapahit Brawijaya V.
Belajar Sebagai Santri Kelana
Sejak kecil KH Hasyim Asy’ari diasuh dan dididik oleh ayah dan ibunya serta kakeknya, Kyai Usman, pengasuh pesantren Gedang di selatan Jombang, dengan nilai-nilai dasar Tradisi Islam yang kokoh. Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan KH Hasyim Asy’ari sudah tampak. Dalam usia 13 tahun, beliau sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar dari dirinya. Dalam usia 15 tahun, sekitar tahun 1309 H/1891 M, Muhammad Hasyim mengawali belajar ke pondok-pondok pesantren yang masyhur di Jawa Timur.
Karena kecerdasannya, Kyai Hasyim tidak pernah lama belajar di satu pesantren, karena semua mata pelajaran telah tuntas dipelajari dalam waktu tidak sampai satu tahun. Begitulah, beliau belajar dari satu pondok pesantren ke pondok pesantren yang lain sebagai Santri Kelana. Di antara Pondok Pesantren yang pernah disinggahi untuk diserap ilmunya adalah Pondok pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo, Trenggilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban, dan ke Bangkalan di Madura, yang diasuh Kyai Muhammad Khalil bin Abdul Latif. Setelah menuntut ilmu dari pesantren ke pesantren selama 5 tahun, akhirnya beliau belajar di pesantren Siwalan, Sono, Sidoarjo, di bawah bimbingan Kyai Ya’qub, yang dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Setelah menyerap ilmu selama setahun, dalam usia 21 tahun, Kyai Hasyim Asy’ari diambil menantu oleh Kyai Ya’qub dinikahkan dengan puterinya, Nyai Nafisah.
Tidak lama setelah menikah, Kyai Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, beliau kembali ke Tanah Air, setelah istri dan anaknya meninggal dunia. Bulan Syawal 1310 H/ Mei 1892 M, Kyai Hasyim Asy’ari menikah dengan Nyai Chadidjah. Setelah itu beliau berangkat ke Tanah Suci. Beliau menetap di Makkah selama 7 tahun dan berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi, Syaikh Mahfudh At-Tarmisi, Kyai Shaleh Darat Al Samarani.
Pada saat Kyai Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh melancarkan gerakan reformasi pembaharuan pemikiran Islam. Sebagaimana telah dikupas oleh Deliar Noer, gagasan reformasi pembaharuan Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian umat Islam dunia termasuk santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah seperti Kyai Achmad Dahlan dan Kyai Hasyim Asy’ari. Gagasan reformasi pembaharuan Abduh itu, pertama-tama mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam. Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas. Ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern. Keempat, mempertahankan eksistensi Islam. Usaha Muhammad Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan.
Dengan alasan inilah Abduh melancarkan gagasan agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatannya pada pola pikiran para Imam Mazhab. Walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syaikh Achmad Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan gagasan-gagasan Abduh itu, di antaranya adalah KH Achmad Dahlan, yang mendirikan organisasi Muhammadiyah tahun 1912. Sementara Kyai Hasyim yang sebenarnya menerima gagasan-gagasan Abduh untuk membangkitkan kembali semangat memurnikan Islam, tetapi menolak pemikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab.
Kyai Hasyim berkeyakinan bahwa tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab, yaitu ulama besar era Tabi’it Tabi’in yang dekat dengan masa hidup Sahabat dan Rasulullah Saw. Artinya, untuk menafsirkan Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku dari para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Sebagai akibat dari pandangan yang berbeda, terjadi benturan pandangan antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan ulama pesantren dengan golongan yang tidak bermazhab yang diwakili golongan modernis pembaharu seperti Muhammadiyah, PSII, Persis, Al-Irsyad.
Bulan Muharram 1317 H/ Juni l899 M, Kyai Hasyim Asy’ari kembali ke Tanah Air dan mengajar di Pesanten Gedang, milik kakeknya, Kyai Usman. Bulan Jumadil akhir 1317 H/ Oktober 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng, yang letaknya sekitar 200 meter di sebelah barat Pabrik Gula Cukir, yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di Tebuireng beliau membangun sebuah bangunan tratak yang terbuat dari bambu sebagai tempat tinggal sekaligus tempat ibadah dan belajar santri. Saat itu santrinya hanya 8 orang tetapi tiga bulan kemudian menjadi 28 orang. Dalam waktu singkat Kyai Hasyim Asy’ari bukan saja dikenal sebagai kyai ternama, melainkan juga dikenal sebagai petani dan pedagang yang sukses karena memiliki tanah puluhan hektar. Dua hari dalam sepekan, Kyai Hasyim tidak mengajar karena mengurusi sawah-sawah dan kebunnya, bahkan terkadang pergi Surabaya untuk berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.
Saat ke Surabaya, Kyai Hasyim tidak hanya berdagang melainkan juga mengaji tashawwuf kepada Kyai Abdul Syakur yang mengajarkan kitab Al-Hikam lbnu Atho’illah As-Sukandari. Setelah dua tahun membangun Tebuireng, pada awal tahun 1319 H/ 1901 M, Kyai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Chadidjah, pada saat perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang menggembirakan.
Kemudian KH Hasyim menikah lagi dengan Nyai Nafiqoh putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan, Madiun. Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 orang anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Choiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Cholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf. Setelah Nyai Nafiqah Wafat Kyai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan Muhyi, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Chotidjah, (4) Muhammad Ya’kub.
Kealiman Kyai Hasyim makin masyhur, terutama setelah Kyai Kholil, guru Kyai Hasyim sewaktu belajar di Bangkalan, Madura, mengikuti pengajian beliau dan menyatakan menjadi murid beliau. Ribuan santri pun menimba ilmu kepada Kyai Hasyim, di mana setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri tersebut yang kemudian tampil sebagai ulama terkenal dan tokoh pejuang yang berpengaruh. Di antara tokoh tersebut adalah KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R.As’ad, KH Usman Al-Ishaqi, KH Masykur, KH Achmad Siddiq, KH A.Muchit Muzadi, Brigjend TNl KH Abdul Manan Widjaja, Brigjend TNI KH Sulam Samsun, Kolonel TNI KH Iskandar Sulaiman, Mayor TNI KH Munasir Ali, dan lain-lain. Tak pelak lagi pada paruh awal abad ke-20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa, sampai mencatat pesantren Tebuireng sebagai sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura.
Karena pengaruhnya yang sangat kuat, Kyai Hasyim mendapat perhatian khusus dari pemerintah kolonial Belanda, yang berusaha merangkulnya. Namun dengan perlawanan pasif yang disebut “tasabuh”, Kyai Hasyim menolak usaha Belanda tersebut. Maksudnya, Kyai Hasyim tidak saja menolak program-program pemerintah kolonial seperti sekolah, melainkan mengharamkan pula pakaian Belanda seperti jas, dasi, celana, sepatu, topi vilt, bahkan uang gaji dari pemerintah kolonial pun dianggap haram.
Di Tengah Kebangkitan Nasionalisme
Pada awal abad ke-20 ditandai Kebangkitan Nasional yang menyebar ke mana-mana, sehingga muncul berbagai organisasi pendidikan, sosial, buruh, dan keagamaan seperti Boedi Oetomo, Taman Siswa, Sarekat Priyayi, Sarekat Dagang Islam, Sarekat Islam, Muhammadiyah, Persis, Al- Irsyad, ISDV, di mana di kalangan pesantren muncul pula organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916 Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar), yang dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Taswirul Afwar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Tokohnya adalah KH Abdul Wahab Chasbullah, yang juga murid Kyai Hasyim Asy’ari. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik tantangan dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial, maupun politik.
Awal dasawarsa kedua abad ke-20, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Wahabi sebagai madzhab resmi Negara dan berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap musyrik dan bid’ah. Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan Islam modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan KH Ahmad Dahlan maupun PSII di bawah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto.
Pro dan kontra terkait kebijakan pemerintah Saudi Arabia memuncak pada Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung tahun 1925 sewaktu dicari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah. Karena aspirasi golongan pesantren tidak tertampung, golongan ini membentuk Komite Hijaz yang dipimpin KH Abdul Wahab Chasbullah, yang bertugas menyampaikan aspirasi kepada penguasa Saudi Arabia. Komite Hijaz sukses karena aspirasinya diterima baik oleh Ibnu Saud, yang membolehkan faham bermazhab tetap hidup di Saudi Arabia.
Saat kembali dari Saudi Arabia akhir tahun 1344 H/ Desember 1925, Komite Hijaz tidak dibubarkan tetapi ditugasi membentuk organisasi keagamaan yang menampung ulama dan santri serta masyarakat berlatar pesantren. Sejarah mencatat, setelah direstui Kyai Hasyim Asy’ari, Komite Hijaz membentuk organisasi Nahdlatoel Oelama pada 31 Februari l926, yang bermakna Kebangkitan Ulama. Setelah NU berdiri posisi golongan pesantren tradisional semakinn kuat.
Nahdlatoel Oelama’ ingin mewujudkan Negara Darussalam (Negara Damai). Dan pada tahun 1937 ketika ormas-ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kyai Hasyim dan KH Wachid Hasyim diminta menjadi pimpinan. KH. Hasyim Asy’ari adalah seorang ulama yang disegani dan dihormati oleh umat Islam di luar organisasi NU, di mana beliau tidak hanya menduduki jabatan Rois Akbar NU, tetapi juga Rois Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI)), yang juga ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Di dalam organisasi MIAI dan Masyumi tertampung berbagai elemen dan organisasi umat Islam Indonesia seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Perti, PSII, Al-Irsyad, dan lain-lain. Kedudukan beliau sebagai ketua Majelis Syuro menunjukkan betapa besar pengaruh beliau bagi umat Islam di Indonesia. Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim.
Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Kyai Hasyim Asy’ari. Ini dilakukan karena Kyai Hasyim menolak melakukan seikerei, yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito titisan Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Seikerei juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang. Kyai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah saja yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, KH Hasyim ditangkap dan pindah penjara, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya. Selama dalam tahanan, KH Hansyim disiksa sehingga tulang-tulang jari tangan kanannya patah tidak dapat digerakkan.
Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri, termasuk usaha yang dilakukan Kyai Wahid Hasyim dan Kyai Wahab Hasbullah melalui tokoh muslim Jepang, yang memohonkan pembebasan kepada Saiko Sikikan di Jakarta. Jepang yang sadar akan kekuatan Kyai Hasyim malah mengangkatnya menjadi Shumubu, kementerian urusan agama, yang diwakilkan kepada KH Wachid Hasyim, puteranya. Ketika pemerintah pendudukan militer Jepang membentuk Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) pada Oktober 1943, yang sebagian perwira-perwiranya dijabat oleh kyai pesantren, Kyai Hasyim mengusulkan agar dibentuk satuan khusus milisi santri terlatih yang disebut Hisbullah. Permohonan Kyai Hasyim dipenuhi oleh pemerintah pendudukan militer Jepang dengan dibentuknya Lasykar Hisbullah pada November 1944. Kader-kader didikan PETA dan Hisbullah inilah yang mendominasi
militer Indonesia sewaktu Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibentuk 5 Oktober 1945.
Pelopor Perlawanan Umat Islam
Di tengah memanasnya kabar bakal mendaratnya pasukan Sekutu yang akan menangkap semua kolaborator Jepang seperti tokoh-tokoh gerakan Tiga A, Poetera, PETA, Heiho, Keibodan, Ir Soekarno mengirim utusan kepada Kyai Hasyim untuk meminta fatwa tentang bagaimana sikap warganegara dalam menghadapi musuh yang akan menjajah kembali karena kabar bahwa tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda akan membonceng tentara Sekutu yang dipimpin Inggris, yang berusaha melakukan agresi ke Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus interniran dan tawanan Jepang.
Permintaan fatwa Presiden Soekarno itu oleh Kyai Hasyim Asy’ari dijawab bersama para ulama NU se-Jawa dan Madura pada 22 Oktober 1945, dalam bentuk seruan Fatwa dan Resolusi Jihad melawan musuh, yang ditanda-tangani di kantor GP Ansor di Jl. Bubutan, Surabaya. Dalam seruan Jihad yang bersifat fardu ain airnya yang diserang musuh dalam jarak 94 kilometer. Tanggal 25 Oktober 1945, pasukan Sekutu dari Brigade 49 Mahratta yang dipimpin Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby mendarat di pelabuhan Ujung Surabaya, memasuki kota Surabaya dan membentuk pos-pos pertahanan kota tanggal 26 Oktober 1945. Rakyat Surabaya yang sejak tanggal 22 Oktober 1945 sudah dikobari semangat jihad pun marah. Tanggal 26 Oktober 1945 sore, pasukan Sekutu dikepung dan diserang beramai-ramai, yang dilanjut hingga tewasnya Brigadir Jenderal A.W.S.Mallaby pada tanggal 30 Oktober 1945.
Sekalipun sejak mundur dari Surabaya 2 Desember 1945 semangat tempur sebagian besar pejuang merosot dan Kyai Hasyim Asy’ari yang kembali ke Tebuireng, perlawanan secara gerilya terus beliau serukan kepada para santri yang berjuang di TKR, Laskar Hisbullah, Sabilillah di mana pun mereka berada. Itu sebab, saat tentara NICA menggantikan Inggris tahun 1946, pesantren Tebuireng sempat diserang dan dibakar karena dianggap sebagai sarang para gerilyawan. Sewaktu Belanda melakukan Agresi pertama tahun 1947, terjadi perlawanan sengit dari pejuang-pejuang Hisbullah dan Sabilillah yang sering bersifat sporadis tanpa kordinasi dengan TNI. Fakta perlawanan sengit laskar santri-laskar santri yang dipimpin kyai di Laskar Sabilillah dan Hisbullah terlihat sewaktu satu battalion tentara NICA masuk Kota Malang melalui Kota Lawang dihadang oleh Laskar Sabilillah di Singosari. Akibat persenjataan yang tidak seimbang, pertahanan Laskar Sabilillah di Singosari jatuh dengan korban sangat banyak. Peristiwa jatuhnya pertahanan Laskar Sabilillah di Singosari itu dilaporkan kepada Kyai Hasyim Asy’ari, yang membuat beliau terkejut dan meninggal mendadak pada 7 Ramadhan 1366 H/ 25 Juli 1947.
Nahdatul Ulama
Masyarakat mulai mengikuti lembaga-lembaga yang dinaungi oleh NU. Misalnya saja seperti IPPNU, IPNU, GPP Ansor, Fatayat dan Muslimat NU. Lembaga-lembaga tersebut juga memiliki ciri atau identifikasi tertentu. Baik ciri anggota atau tipikalitas pelaku dan ciri kegiatan atau tipikalitas kegiatan. Misalnya IPNU merupakan singkatan dari Ikatan Pemuda Nahdlatul Ulama, dimana organisasi tersebut anggotanya merupakan remaja laki laki. Melalui organisasiorganisasi tersebut, individu dapat lebih menyerap nilai-nilai yang berlaku di organisasi NU.
Dalam hal ini mereka menekankan praktik-praktik mistik yang mengacu pada syari’at Islam. Para kiai menganggap diri mereka sebagai pewaris sekaligus penyebar tradisi pendidikan yang telah berusia berabad-abad tersebut. Penyerapan nilai-nilai lokal non-Islam oleh Islam tradisional tumbuh dari kepercayaan bahwa suatu amalan dapat secara sah diambil dan diterapkan sejauh tidak bertentangan dengan syari’at. Keyakinan tersebut menjadi dasar dilakukannya penyerapan berbagai ritual lokal non- Islam ke dalam amalan muslim. Sebagai contoh adalah slametan, ziarah, serta berbagai ritual magis dan mistis yang berasal dari tradisi setempat dan dari agama Hindu. Tidak semua ulama menyetujui atau menjalankan hal ini, tetapi mereka yang menyetujuinya menganggapnya sebagai bentuk pengkayaan keimanan dan sebagai cara memudahkan penyebaran Islam. Nahdlatul Ulama (NU) secara resmi didirikan di Jawa Timur pada 31 Januari 1926, namunsejatinya ajaran dan kultur NU telah berkembang sejak lama di Indonesia. NU sebagai representasi Islam ala Indonesia yang khas bahkan telah ada sejak awal mula sejarah berkembangnya Islam di Nusantara. NU juga melestarikan tradisi-tradisi keislaman khas Nusantara dan mewarisi pemikiran para ulama agung asal Nusantara di zaman dulu.
Setelah Proklamasi kemerdekaan, hamper semua organisasi Islam sepakat menjadikan MASYUMI sebagai partai politik, termasuk NU. Namun pada tahun 1950, NU memutuska untuk keluar dari MASYUMI karena terjadi konflik intern. Pada Muktamar NU ke -19 di Palembang 1952 memutuskan menjadi Partai Politik, dengan demikian NU memasuki dunia politik secara otonom dan terlubat langsung dalam persoalan-persoalan Negara. Untuk melapangkan jalan di dunia polotik, NU masuk dalam kabinet Ali Sastro Amijoyo, seperti KH. Zainul arifin (wakil perdana mentri), KH.Masykur (menteri Agama), begitu pula dengan susunan kabinet yang lain .Pada tahun 1955 diadakan pemilu yang pertama di Indonesia, NU mampu meraih suara terbanyak ketiga setelah PNI dan PKI. Hal ini tidak lepas dari peran Kyai dan Pesantren sebagai kekuatan pokok NU. Pada pereode 1960-1966 NU tampil menjadi kekuatan yang melawan komunisme, hal ini dilakukan dengan membentuk beberapa organisasi, seperti : Banser (Barisan Ansor Serba Guna), Lesbumi (lembaga Seni Budaya Muslim), Pertanu (Persatuan Petani NU), dan lain-lain. Pada tanggal 5 Oktober 1965 NU menuntut pembubaran PKI .
NU dan kelompok-kelompok lain sedang digiatkan untuk dimobilisasi mendukung
rezim baru di level lapangan akar rumput, hubungan-hubungan tingkat elite hampir luput dari pengamatan dan aktivis NU. Kalaupun sebagian kecil mereka tahu, faktanya mereka tidak diajak untuk menjadi otak dan transformer penentu kebijakan dalam Orde yang baru dibentuk Soeharto di atas tetesan darah ratusan ribu warga Indonesia atau nama komunis, mereka yang dikomuniskan, atau mereka yang sekedar berkawan dengan orang komunis. Ini akan tampak dari siapa-siapa saja yang dididik di negeri adidaya Ameriaka Serikat, yang disebut oleh Jenderal Soemito sebagai “didikan Amerika serikat” itu.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Baso, K Ng H Agus Sunyoto, Rizal Mummaziq. (2017). KH Hasyim Asy Ari Pengabdian Seorang Kyai Untuk Negeri. (T. M. Nasional, Penyunt.) Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional Direktorat Jendral Kebudayaan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Fatmawati, K. M. (2014). Studi Fenomenologi. Nahdatul Ulama dan Nilai Ajaran Ahlu Sunnah Wal Jamaah (Aswaja) Pembentuk Pilihan Pendidikan Masyarakat.
Goncing, N. (2015). Jurnal Magister llmu Politik. Politik Nahdatul Ulama dan, 1.
Labibah. (2016). Analisi Wacana Kritis. Wacana Tokoh NU (Nahdatul Ulama) Terhadap Keberadaan Jamaah Ahmadiyah di Indonesia.
Komentar
Posting Komentar