Perang Siffin
Pergeseran Khilafah Rasyidah kepada Khilafah Mulkiyyah
Khilafah Rasyidah merupakan pemimpin umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW
wafat, yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin
Affan dan Ali bin Abi Thalib, dimana sistem pemerintahan yang diterapkan adalah
pemerintahan yang demokratis.
Nabi Muhammad SAW tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan
menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat.
Beliau nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri
untuk menentukannya. Karena itulah, tidak lama setelah beliau wafat;
belum lagi
jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di balai
kota Bani Sa'idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa yang akan dipilih
menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot karena masing-masing
pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin
umat Islam. Namun, dengan semangat ukhuwah Islamiyah yang tinggi, akhirnya, Abu Bakar terpilih. Rupanya, semangat keagamaan Abu Bakar mendapat penghargaan yang
tinggi dari umat Islam, sehingga masing-masing pihak menerima dan membaiatnya.
Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar disebut Khalifah
Rasulillah (Pengganti Rasul) yang dalam perkembangan selanjutnya
disebut khalifah saja. Khalifah adalah pemimpin yang diangkat sesudah Nabi
wafat untuk menggantikan beliau melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama
dan kepala pemerintahan.Abu Bakar menjadi khalifah hanya dua tahun. Pada tahun
634 M ia meninggal dunia. Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan
persoalan dalam negeri terutama tantangan yang ditimbulkan oleh suku-suku
bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah. Mereka
menganggap bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad SAW, dengan
sendirinya batal setelah Nabi wafat. Karena itu mereka menentang Abu Bakar.
Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama
dan pemerintahan, Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut Perang
Riddah (perang melawan kemurtadan). Khalid ibn Al-Walid adalah
jenderal yang banyak berjasa dalam Perang Riddah ini.
Nampaknya,
kekuasaan yang dijalankan pada masa Khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa
Rasulullah, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif
terpusat di tangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, Khalifah
juga melaksanakan hukum. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad SAW, Abu
Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah. Setelah
menyelesaikan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar mengirim kekuatan
ke luar Arabia. Khalid ibn Walid dikirim ke Iraq dan dapat menguasai al-Hirah
di tahun 634 M. Ke Syria dikirim ekspedisi di bawah pimpinan empat jenderal
yaitu Abu Ubaidah, Amr ibn 'Ash, Yazid ibn Abi Sufyan dan Syurahbil. Sebelumnya
pasukan dipimpin oleh Usamah yang masih berusia 18 tahun. Untuk memperkuat
tentara ini, Khalid ibn Walid diperintahkan meninggalkan Irak, dan melalui
gurun pasir yang jarang dijalani, ia sampai ke Syria.
Abu Bakar meninggal dunia, sementara barisan depan pasukan Islam sedang
mengancam Palestina, Irak, dan kerajaan Hirah. Ia diganti oleh "tangan
kanan"nya, Umar ibn Khattab. Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya
sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat
Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya
perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar
tersebut ternyata diterima masyarakat yang segera secara beramai-ramai membaiat
Umar. Umar menyebut dirinya Khalifah Rasulillah (pengganti
dari Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu'minin (Komandan
orang-orang yang beriman).
Di zaman Umar gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama
terjadi; ibu kota Syria, Damaskus, jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian,
setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria
jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Syria sebagai basis, ekspansi
diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan 'Amr ibn 'Ash dan ke Irak di bawah
pimpinan Sa'ad ibn Abi Waqqash. Iskandaria, ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun
641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Al-Qadisiyah,
sebuah kota dekat Hirah di Iraq, jatuh tahun 637 M. Dari sana serangan
dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada
tahun 641 M, Mosul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan
Umar, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria,
sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir.
` Karena perluasan daerah
terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh
administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi
pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi: Makkah, Madinah, Syria,
Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang
perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji
dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif
dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan
kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait
al-Mal, menempa mata uang, dan menciptakan tahun hijrah.
Umar memerintah selama sepuluh tahun (13-23 H/634-644 M). Masa jabatannya
berakhir dengan kematian. Dia dibunuh oleh seorang budak dari Persia bernama
Abu Lu'lu'ah. Untuk menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh jalan yang
dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka
untuk memilih salah seorang diantaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut
adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa'ad ibn Abi Waqqash, Abdurrahman ibn
'Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Utsman
sebagai khalifah, melalui persaingan yang agak ketat dengan Ali ibn Abi Thalib.
Di masa
pemerintahan Utsman (644-655 M), Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian
yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristall berhasil direbut.
Ekspansi Islam pertama berhenti sampai di sini.
Pemerintahan Usman berlangsung selama 12 tahun, pada paruh terakhir masa
kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam
terhadapnya. Kepemimpinan Usman memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar.
Ini mungkin karena umumnya yang lanjut (diangkat dalam usia 70 tahun) dan
sifatnya yang lemah lembut. Akhirnya pada tahun 35 H 1655 M, Usman dibunuh oleh
kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang kecewa itu.
Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat kecewa terhadap
kepemimpinan Usman adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan
tinggi. Yang terpenting diantaranya adalah Marwan ibn Hakam. Dialah pada dasarnya
yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Usman hanya menyandang gelar Khalifah.
Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting,
Usman laksana boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak
dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan
bawahan. Harta kekayaan negara, oleh karabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol
oleh Usman sendiri.
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa pada masanya tidak ada
kegiatan-kegjatan yang penting. Usman berjasa membangun bendungan untuk menjaga
arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga
membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas masjid
Nabi di Madinah.
Setelah Utsman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib
sebagai khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya,
ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam
pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan
khalifah, Ali memecat para gubernur yang diangkat oleh Utsman. Dia yakin bahwa
pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik
kembali tanah yang dihadiahkan Utsman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil
pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak
tahunan diantara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.
Tidak lama setelah itu, Ali ibn Abi Thalib menghadapi pemberontakan
Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para
pembunuh Utsman, dan mereka menuntut bela terhadap darah Utsman yang telah
ditumpahkan secara zalim. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia
mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk
menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak.
Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Perang ini dikenal dengan nama Perang
Jamal (Unta), karena Aisyah dalam pertempuran itu menunggang unta, dan
berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh ketika hendak
melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah. Bersamaan
dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali juga mengakibatkan timbulnya
perlawanan dari gubernur di Damaskus, Mu'awiyah, yang didukung oleh sejumlah
bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah
berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali bergerak dari
Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan
pasukan Mu'awiyah di Shiffin. Pertempuran terjadi di sini yang dikenal dengan
nama perang shiffin.
Peperangan ini berlangsung imbang
sehingga kemudian kedua belah pihak setuju untuk berunding dengan ditengahi
seorang juru runding. Pertempuran dan perundingan membuat posisi Ali bin Abi
Talib melemah tetapi tidak membuat ketegangan yang melanda kekhalifahan mereda.
Oleh penganut aliran Syiah, Ali bin Abi Talib dianggap sebagai Imam pertama. Oleh
penganut aliran Suni, Ali bin Abi Talib adalah khulafaur
rasyidin yang ke empat
dan Muawiyah adalah khalifah pertama dari Dinasti Ummayyah. Kejadian
kejadian disekitar pertempuran Shiffin sangatlah kontroversial untuk Suni dan
Syiah dan menjadi salah satu penyebab perpecahan di antara keduanya.
Awalnya, Setelah pasukan Syam dan Kufah sampai di
wilayah Shiffin, kedua pihak mengambil posisi masing-masing. Utusan keduanya
sibuk melakukan perundingan, dengan mengharap pertempuran bisa
terhindar.Diriwayat yang lain juga disebutkan, bahwa Abu Darda’ dan Abu Umamah mendatangi
Muawiyah, dengan isi percakapan yang hampir sama dengan riwayat sebelumnya.
Setelah itu keduanya kembali kepada Ali bin Abi Thalib, dan dia mengatakan,
”Mereka adalah orang-orang yang kalian maksudkan.” Maka keluarlah banyak orang,
dan mengatakan, ”Kami semua yang telah membunuh Utsman, siapa yang berkehendak
maka silahkan dia melemparkan kami.”
Dalam "Minhaj As
Sunnah" (4/384) juga
dinukil bagaimana sikap para pendukung Muawiyah, mangapa mereka tidak membaiat
Ali. ”Kami jika membaiat Ali, maka pasukannya akan mendhalimi kami, sabagaimana
mereka mendhalimi Utsman, sedangkan Ali tidak mampu melakukan pembelaan
terhadap kami.”Dari periwayatan di atas semakin jelas, bahwa memang kedua belah
pihak, baik Ali dan Muawiyah tidak berselisih mengenai jabatan kekhalifahan,
dan keduanya memang tidak bermaksud menyerang satu sama lain.
Berbagai upaya
menghentikan peperangan dilakukan kedua belah pihak.Para utusan terus melakukan
perundingan, dan pasukan kedua belah pihak sama-sama menahan diri untuk
melakukan serangan, hingga berakhirnya bulan-bulan haram pada tahun itu (37 H).
Pasukan Kufah menyeru kepada pasukan Syam, ”Amir Al Mukminin telah menyeru
kepada kalian, aku telah memberi tenggang waktu untuk kalian, agar kembali
kepada al haq, dan saya telah menegakkan atas kalian hujah, akan tetapi kalian
tidak menjawab…”
Pasukan
Syam menjambut seruan itu, dengan mempersiapkan diri di shafnya masing-masing.
Pada hari Rabu, tanggal 7 pada bulan Safar, pertempuran berlangsung pada hari
Rabu, Kamis, Jumat serta malam Sabtu. Dalam "Al Aqdu Al
Farid" (4/3140)
disebutkan bahwa kdua pihak bersepakat bahwa mereka yang terluka harus
dibiarkan, begitu pula mereka yang melarikan diri tidak boleh dikejar, mereka
yang meletakkan senjata akan aman, tidak boleh mengambil benda milik mereka
yang meninggal, serta mereka mendoakan dan menshalati jenazah yang berada di
antara kedua belah pihak.
Mayoritas
sahabat tidak ikut serta dalam pertempuran ini. Pada saat itu jumlah mereka
sekitar 10 ribu, akan tetapi yang ikut serta tidak lebih dari 30 sahabat saja,
sebagaimana riwayat yang disebutkan dalam "Minhaj As
Sunnah" (6/237).
Riwayat
mengenai jumlah pasukan yang terbunuh di kedua belah pihak berbeda satu sama
lain, akan tetapi Ibnu Katsir menyebutkan dalam "Al Bidayah
wa An Nihayah" (7/288) bahwa
pasukan Kufah berjumlah 120 ribu orang, terbunuh 40 ribu, sedangkan pasukan
Syam berjumlah 60 ribu, dan yang terbunuh dari mereka 20 ribu orang,Namun
menurut buku Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin Karangan Joesoef Sou'yb pasukan
Ali bin Abi Thalib berjumlah 95.000 Prajurit dan yang terbunuh 35.000,sedangkan
dari Pasukan Syam berjumlah 85.000 dan yang terbunuh berjumlah 45.000 Prajurit.
Bisa dikatakan bahwa peristiwa
penting dalam perang Shiffin adalah pangangkatan tinggi-tinggi mushaf Al Qur`an, hingga pertempuran itu
berakhir. Disebutkan dalam beberapa periwayatan bahwa ketika pertempuran
berlangsung amat sengit banyak sahabat yang menyeru, dengan mengangkat Al Quran
tinggi-tinggi, ”Jika kita tidak berhenti (bertempur) maka Arab akan sirna, dan
hilanglah kehormatan…”
Muawiyah yang juga mendengar
khutbah itu membenarkan, ”Benar, demi Rabb Ka’bah, jika kita masih berperang
esok, maka Romawi akan mengincar para wanita dan keturunan kita.
Sedangkan Persia akan
mengincar para wanita dan keturunan Iraq. Ikatlah mushaf-mushaf di ujung
tombak kalian.”Maka saat itu, pasukan Syam menyeru, ”Wahai pasukan Iraq di
antara kami dan kalian adalah Kitabullah!” Muawiyah
memerintahkan seorang utusan untuk menghadap kepada Khalifah Ali bin Abi
Thalib, ”Iya, di antara kami dan kalian adalah Kitabullah, dan kami telah
mendahulukan hal itu.” Jawab dia.
Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam
kitab Al Mushannaf (8/336) bahwa kaum Khawarij mendatangi
Ali bin Abi Thalib, dengan pedang di atas pundak mereka, ”Wahai Amir Al
Mukminin, tidakkah sebaiknya kita menyongsong mereka, hingga Allah memberi
keputusan antara kita dan mereka.” Usulan ini ditentang keras oleh sahabat Sahl bin Hunaif Al Anshari. ”Tuduhlah
diri kalian! Kami telah bersama rasulullah saat
peristiwa Hudaibiyah. Kalau sendainya kami berpendapat akan berperang, maka
kami perangi (tapi kenyataannya mereka tidak berperang)”Sahl juga menjelaskan
bahwa setelah perjanjian damai dengan kaum musyrikin itu turunlah surat Al Fath kepada
rasulullah . Ali bin Abi
Thalib pun menyambut pendapat Sahl, ”Wahai manusia, ini adalah fath (hari
pembebasan).” Seru Ali bin Abi Thalib, akhirnya pertempuran itu pun berakhir.
Perang ini diakhiri dengan tahkim
(arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan
menyebabkan timbulnya golongan ketiga, al-Khawarij, orang-orang yang keluar
dari barisan Ali. Akibatnya, di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib umat
Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu'awiyah, Syi'ah
(pengikut) Ali, dan al-Khawarij (oran-orang yang keluar dari barisan Ali).
Keadaan ini tidak menguntungkan Ali. Munculnya kelompok al-khawarij menyebabkan
tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu'awiyah semakin kuat. Pada tanggal
20 ramadhan 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij.
Kedudukan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya Hasan selama
beberapa bulan. Namun, karena Hasan tentaranya lemah, sementara Mu'awiyah
semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini dapat
mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah
Mu'awiyah ibn Abi Sufyan. Di sisi lain, perjanjian itu juga menyebabkan
Mu'awiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun
persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama'ah ('al jama'ah)!
Dengan demikian berakhirlah masa yang disebut dengan masa Khulafa'ur Rasyidin,
dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam.
Ketika itu
wilayah kekuasaan Islam sangat luas. Ekspansi ke negeri-negeri yang sangat jauh
dari pusat kekuasaannya dalam waktu tidak lebih dari setengah abad, merupakan
kemenangan menakjubkan dari suatu bangsa yang sebelumnya tidak pernah mempunyai
pengalaman politik yang memadai. Faktor-faktor yang menyebabkan ekspansi itu
demikian cepat antara lain adalah:
1. Islam,
disamping merupakan ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, juga
agama yang mementingkan soal pembentukan masyarakat.
2. Dalam dada para
sahabat, tertanam keyakinan tebal tentang kewajiban menyerukan ajaran-ajaran
Islam (dakwah) ke seluruh penjuru dunia. Disamping itu, suku-suku bangsa Arab
gemar berperang. Semangat dakwah dan kegemaran berperang tersebut membentuk
satu kesatuan yang padu dalam diri umat Islam.
3. Bizantium dan
Persia, dua kekuatan yang menguasai Timur Tengah pada waktu itu, mulai memasuki
masa kemunduran dan kelemahan, baik karena sering terjadi peperangan antara
keduanya maupun karena persoalan-persoalan dalam negeri masing-masing.
4. Pertentangan
aliran agama di wilayah Bizantium mengakibatkan hilangnya kemerdekaan beragama
bagi rakyat. Rakyat tidak senang karena pihak kerajaan memaksakan aliran yang
dianutnya. Mereka juga tidak senang karena pajak yang tinggi untuk biaya
peperangan melawan Persia.
5. Islam datang ke
daerah-daerah yang dimasukinya dengan sikap simpatik dan toleran, tidak memaksa
rakyat untuk mengubah agamanya dan masuk Islam.
6. Bangsa Sami di
Syria dan Palestina dan bangsa Hami di Mesir memandang bangsa Arab lebih dekat
kepada mereka daripada bangsa Eropa, Bizantium, yang memerintah mereka.
7. Mesir, Syria
dan Irak adalah daerah-daerah yang kaya. Kekayaan itu membantu penguasa Islam
untuk membiayai ekspansi ke daerah yang lebih jauh.
Mulai dari masa Abu Bakar sampai kepada Ali dinamakan periode Khilafah
Rasyidah. Para khalifahnya disebut al-Khulafa' al-Rasyidun,
(khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk). Ciri masa ini adalah para khalifah
betul-betul menurut teladan Nabi. Mereka dipilih melalui proses musyawarah,
yang dalam istilah sekarang disebut demokratis. Setelah periode ini,
pemerintahan Islam berbentuk kerajaan. Kekuasaan diwariskan secara turun
temurun. Selain itu, seorang khalifah pada masa khilafah Rasyidah, tidak pernah
bertindak sendiri ketika negara menghadapi kesulitan; Mereka selalu
bermusyawarah dengan pembesar-pembesar yang lain. Sedangkan khalifah-khalifah
sesudahnya sering bertindak otoriter .
Sumber :
Dr.Badri
Yatim,M.A Buku Sejarah Peradaban Islam
Komentar
Posting Komentar